Tasawuf

Buku: Akulah Angin Engkaulah Api, hal. 16, karya Annemarie Schimmel

[…] Karena tasawuf itu sendiri didasarkan pada meditasi mengenai kematian, saat-saat jiwa harus bertemu dengan Tuhannya setelah menjalani interogasi oleh dua Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur. Bagaimana perasaan jiwa untuk menghadapi suasana ketika ia harus berdiri di hadapan Hakim Teragung untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kelakukan, pemikiran, dan ucapan-ucapannya?

Harapan untuk mendapatkan surga dan kedamaiannya, ketakutan terhadap hukuman di neraka yang menakutkan, seperti digambarkan dalam Al-Quran, telah menggerakkan orang-orang mukmin ke arah ketaatan. Walaupun demikian, para sufi lebih memahami perhatian utama orang beriman.

Rabi’ah al-Adawiyyah, wanita taat dari Bashrah itu (wafat tahun 801 M), telah mengajarkan kepada mereka untuk mencintai Tuhan dengan cinta yang murni, bukan karena harapan atau rasa takut, tetapi karena keindahan kasih-Nya yang abadi. Tidakkah Al-Quran mengatakan: Dia (Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS. Al-Maidah [5]: 54)?

Para pencinta Tuhan tidak lagi takut kepada kematian, tetapi justru mengharapkannya karena “kematian adalah jembatan yang menghubungkan antara orang yang mencintai dan yang dicintai.” Apa yang lebih diinginkan selain saat-saat, setelah terbebas dari segala urusan, berkontemplasi dengan Keindahan Ilahiah yang abadi, yaitu menghadap Wujud Ilahiah yang tak terkirakan, tempat segala sesuatu berasal dan berpulang?

Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita akan kembali (QS. Al-Baqarah [2]: 156).

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.